Rabu, 03 Juni 2009

MeetFGDexpert-From Hobby to Business

Bertemunya ‘Passion’ & ‘Professionality’


Surabaya membara, seminggu sebelum FGDexpert datang, Kristian Samuel Wattimena sudah menyerukan civitas akademi STIKOM, “mengosongkan” kegiatan belajar mengajar regular pada 29 Mei. “Kami juga akan mengundang dari industri dan kampus lain untuk datang.” Janji Kristian.


Benar saja, aula STIKOM dipenuhi peserta yang “haus” pencerahan oleh Jerry Aurum dan Herman Pratomo. Jerry adalah fotografer kondang yang sukses berkat kreatifitasnya mengembangkan hobby dengan trik-trik yahud. Sedangkan Herman Pratomo adalah FGDexpert yang menjadi penyeimbang tema “From Hobby to Business” dengan mengedepankan profesionalitas berdasarkan penguasaan dasar kecabangan ilmu atau basic knowledge.

Jerry, memberikan inspirasi dan membangkitkan semangat untuk peserta, seperti ia katakan, “…paling penting dalam mengembangkan bisnis dari hobi itu adalah passion atau gairah. Itulah amunisinya. Tanpa passion, sebuah pekerjaan akan menjadi sangat membosankan. Selain bisa lebih memacu untuk lebih bersemangat bekerja, passion itu juga bisa berpengaruh pada hasil kerja sehingga membuat klien senang.”


Dan untuk mendukung tercapainya kesuksesan bagi yang ingin mengembangkan hobinya menjadi bisnis, Herman Pratomo tetap mengingatkan dan membekali dengan semangat untuk menguasai basic knowledge daripada berharap pada factor luck yang sifatnya gambling.


Dari STIKOM, acara dilanjutkan ke UBAYA pada 30 mei dengan peserta lebih banyak, karena selain kali ini FGDexpert jemput bola ke Fakultas Ekonomi, yang mahasiswanya relative banyak dan digadang-gadang jadi entrepreneur, ternyata peserta di STIKOM belum cukup puas dan ikut ke UBAYA.

























Tak kalah seru di UGM pada 28 Mei, dengan tema pelatihan Menjadi Event Organizer Handal, hadir sebagai pembicara adalah Soehoed Kosasih dari Dyandra yang berbagi kisah sukses dan tips menjadi EO untuk event kecil hingga sebesar FGDexpo dan sebagainya. Penulis Buku Kamus Brand dan kreator brand serta mascot FGDexpo, Mendiola B Wiryawan, mempesona dengan pencerahannya termasuk bagaimana membuat event menjadi seru dan berkesan dengan brand dan maskot. Presentasi tentang FGDexpo oleh Peter Natadihardja, membuat peserta terkesima, seperti kata Printy yang ikut roadshow, “FGDexpo memang pameran yang beda dari pameran lainnya, bukan sekedar jualan. Jadi, selamat datang di FGDexpo2009, 30 Juli-2 Agustus di JCC.” Ajak Printy. [mp]


Jumat, 03 April 2009

FGDexpo2009_seminar_conference




klik gambar untuk large format

Willkommen in FGDexpo2009





klik gambar untuk format pandang lebih besar.
dapatkan informasi lengkap FGDexpo2009 di:
http://exponewroom.blogspot.com/
http://www.fgdexpo.net/
http://fgdexpo.blogspot.com/
http://www.facebook.com/expo_newsroom

web editorial / advertising:
mobile: +62-21 94 6969 48
email: fgdexpo.newsroom@gmail.com , mahar.prastowo@gmail.com

Selasa, 17 Februari 2009

Politeknik Negeri Media Kreatif [PNMK] ex Pusgrafin


Berikut ini adalah peta menuju Politeknik Negeri Media Kreatif [PNMK], dalam peta masih tertulis nama lama yakni PUSGRAFIN [Pusat Grafika Indonesia].



klik gambar untuk mendapat detail peta dengan ukuran lebih besar.

Rabu, 04 Februari 2009

Dewi Mulia Karnadi, Managing Director IPG HP Indonesia



Ketika HP mengumumkan posisi baru Mulia Dewi Karnadi sebagai Managing Director Imaging Printing Group (IPG) HP Indonesia. Semua perhatian tertuju pada alumni Untar ini. Tidak dengan tiba-tiba, posisi puncak ini diraih.

Enterprise and Commercial Volume Sales Director untuk IPG dan PSG HP Indonesia, adalah jabatan yang diemban Dewi sebelumnya. Posisi tersebut, ditekuni Dewi dengan kerja keras hingga berhasil membawa HP Indonesia memenuhi target tumbuhnya penetrasi pasar enterprise dan sektor komersial pada kuartal 1 tahun 2008 sebesar 120 persen untuk IPG dan 117 persen untuk PSG.

Sebagai seorang Enterprise and Commercial Volume Sales Director, ia memang punya posisi strategis untuk melompat ke karir tertinggi di HP Indonesia. Dia-lah yang bertanggungjawab atas peningkatan penetrasi pelanggan untuk industri-industri utama yang menjadi target, mulai dari industri jasa layanan keuangan, manufaktur, distribusi, telekomunikasi, sampai lembaga edukasi dan media hiburan.

Kini, Posisi teratas yang sebelumnya dalam rangkap jabatan Subin Joseph, telah ia raih. Sebagai pemegang jabatan tertinggi di HP Indonesia, ia bertanggungjawab terhadap kelangsungan serta pertumbuhan bisnis Imaging Printing HP di Indonesia, dari bisnis printer hingga supplies.


Berkarir Mengukir Prestasi

Melihat perjalanan karirnya, seolah ia ingin mengatakan, bahwa bekerja adalah mengukir prestasi demi prestasi.

Tahun 2007, ia membuat banyak orang tercengang.
Begitu pada periode Mei 2006 ia diangkat sebagai Marketing and Consumer Sales Director IPG, HP Indonesia, pada tahun berikutnya tepatnya Juli 2007, ia mencatat prestasi gemilang. Dimana 55 Store sukses ia kembangkan dalam waktu 18 bulan di 6 kota besar di indonesia. otomatis pretasinya tersebut serta-merta dibarengi denganpeningkatan penetrasi pasar atas produk-produk consumer dari HP, khususnya printer, PC dan consumer notebook. Dan ini memposisikan HP Indonesia sebagai peraih award dari HP Asia Pasifik dan Jepang sebagai negara dengan pertumbuhan pasar tertinggi untuk notebook, PC dan LaserJet selama kuartal 1 dan 2 tahun 2007.

Mulia Dewi memiliki pengalaman selama beberapa tahun di Imaging Printing Group dan memimpin Supplies Business sebelum 1 September 2007. Selama karirnya, Mulia Dewi telah berperan penting dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan bisnis Imaging Printing di Indonesia,? kata Margaret Ong, Vice President HP Imaging Printing Group & Customer GTM, South East Asia, HP Asia Pacific., melalui keterangan pers, Jumat (12/9/2008).

Mulia Dewi Karnadi mengawali karir di HP pada tahun 1997, setelah sebelumnya menjabat sebagai General Manager PT Berca Indonesia - distributor HP pada tahun 1992 - 1997. Jenjang pendidikannya ia akhiri sebagai pemegang gelar Sarjana Akuntansi dari Universitas Tarumanegara, Jakarta (1990) dan Master of Business Administration dari IPMI (1991). (pressrelease dan berbagai sumber]

Rabu, 28 Januari 2009

Hewlett Packard: Cartridge Tinta Dari Limbah Plastik

The Society of Plastics Engineers ( organisasi profesional di bidang plastik) memberikan penghargaan kepada HP di acara The Global Plastics Environmental Conference, Maret 2008.

Penghargaan tersebut diberikan karena komitmen hp dalam menjaga lingkungan hidup melalui program daur ulang plastik bekas botol air minum untuk dijadikan produk cartridge tinta printer.

Belum ada laporan resmi mengenai kapasitas produksi di Tahun 2008, namun dipastikan mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya [2007], dimana hp telah memproduksi 200 juta cartridge dengan bahan baku plastik bekas.

Mulia Dewi Karnadi, Marketing Group Head hp menjelaskan, bahwa pada tahun 2007 sedikitnya lebih dari 5 juta pound (atau sekitar 2.270 ton) plastik bekas digunakan HP dalam produksi cartridge tinta, dan ditingkatkan 2 kali lipat ditahun 2008.

"Inilah salah satu bentuk nyata hp turut dalam mengurangi dampak pencemaran lingkungan dan emisi karbon." imbuhnya.

Selain mereproduksi sampah plastik bekas air minum, hp juga meminimalisir kemasan produk. Selain hemat bahan baku, juga hemat tempat dalam proses delivery dan memungkinkan lebih banyak produk terbawa dalam satu kali pengangkutan.



Film Animasi Lucasfilm Pakai Autodesk Maya

Lucasfilm baru saja merilis film animasi baru, Star Wars: The Clone Wars dengan Autodesk.


Jum'at, 19 September 2008, 13:30 WIB
Muhammad Firman, Muhammad Chandrataruna



Sejumlah film animasi baru kian banyak bermunculan menawarkan suguhan visualisasi menarik dan terkesan nyata. Di balik itu, rumah-rumah produksi film berlomba-lomba menciptakan animasi yang lebih "hidup" dan menyerupai manusia. Tidak terkecuali Lucasfilm yang baru saja merilis film animasi baru, Star Wars: The Clone Wars, dengan bantuan piranti lunak Autodesk.

Proyek animasi Star Wars pertama dari Lucasfilm ini diproduksi secara global menggunakan Autodesk Maya sebagai aplikasi animator. Dengan Maya, Lucasfilm coba menyuguhkan animasi dan karakter Star Wars secara mendetail, termasuk karakter Anakin Skywalker, R2-D2, Obi-Wan Kenobi, dan Jabba The Hutt.

Richard Kerris, Chief Technology Officer Lucasfilm, mengatakan Maya dapat menjadi platform animasi pilihan untuk industri film. "Di Lucasfilm, kami terus mengembangkan perangkat baru, dan cocok dengan Maya. Maya menjadi pondasi kuat bagi kami untuk mengeksplorasi konsep baru dan memaksimalisasi produktivitas dan kreativitas tanpa mengganggu alur produksi global kami," katanya, melalui siaran pers, Kamis 11 September 2008.

Dari sudut pandang teknologi, menurut Danny Keller, Lucasfilm membutuhkan fleksibilitas untuk dapat mewujudkan visi kreatif kemanapun yang diimpikan pendiri Lucasfilm George Lucas dan direktur supervisi Dave Filoni. "Maya memungkinkan kami mewujudkannya," ujar supervisor animasi Lucasfilm tersebut.

Kabar terakhir, artis digital di California, Lucasfilm Animation di Singapura, dan studio partner CGCG di Taipei, telah membuat lebih dari 30 episode untuk serial TV Star Wars. Lucasfilm Animation, tim kreatif yang berkantor di California, menetapkan storyline dan key scenes, sementara animator studio di Asia memproduksi animasinya. Rantai proses produksi ini dapat menghasilkan rata-rata delapan menit animasi setiap minggunya, sebuah tingkat produktivitas film animasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, berbicara tentang hasil, apabila dibandingkan dengan Polar Express yang diproduksi Warner Bros, Kung Fu Panda besutan Dreamworks, atau film terbaru yang dirilis Walt Disney Wall-E, kualitas dan tekstur visual Star Wars: The Clone Wars relatif mengecewakan. Visualisasi karakter dan ekspresi dalam film ini masih sangat kaku dan terkesan "tidak hidup". Namun, melihat portofolio film animasi besutan Autodesk yang jumlahnya sedikit dan relatif kurang berpengalaman, wajar saja bila kualitas visualnya masih belum optimal.

Meskipun begitu, Lucasfilm terbilang cukup sukses dalam memproduksi film non-animasi, bahkan beberapa di antaranya pernah menjadi nominasi di ajang penghargaan film dunia, seperti Indiana Jones, Tucker, Willow, dan Labyrinth.
• VIVAnews

Dian Printing Ditengah Kerasnya Persaingan Kalibaru



Di daerah yang dikenal dengan nama Kebon Kosong itu ia mengontrak rumah kecil-kecilan. Harga sewanya setahun sekitar Rp 1 juta. Dan kurang Rp 200.000 lagi, ia memiliki hak mengontrak atas tempat itu hingga tahun 2009. Rumah kontrakannya itu berukuran 3 meter x 7 meter, dibagi tiga sekat. Dua untuk ruang kerja dan satu ruang tidur. Kamar mandinya ada di luar dan biasa dipakai oleh lebih dari 20 orang.

Usaha Senin, dengan bendera Dian Printing, mulai terlihat berkembang di Kebon Kosong itu. Ia yang awalnya hanya memiliki satu mesin cetak numerik kini di tempat itu sudah ada tiga mesin cetak. Cabang usaha percetakannya di Pasar Pramuka juga memiliki tiga mesin cetak numerik. Semuanya hasil modifikasi. Satu unit mesin harganya sekitar Rp 1 juta.

Sekali waktu usahanya pernah sepi. Ia pun tergoda bujuk teman-temannya untuk minta bantuan kepada "orang pintar". Namun apa yang terjadi kemudian, tidak ada perubahan dalam usahanya. Ia pun kemudian sadar, "orang pintar" itu juga manusia.

Sejak itu ia lebih giat lagi mencari order. Selain order tetap dari mantan bosnya dulu, Senin juga tak segan-segan mencari order sendiri dengan masuk dan keluar International Trade Centre (ITC) Cempaka Mas, Mangga Dua, dan pusat-pusat niaga lainnya.

Hasilnya memang kemudian menjadi lebih baik. Dalam seminggu, dia bisa mengerjakan cetak numerik hingga ratusan rim bersama tiga karyawannya. Untuk tiap satu rimnya, dia mengambil untung bervariasi. Satu rim dengan cetakan nomor dua tempat harganya Rp 1.500- Rp 2.000. Tiga hingga empat nomor Rp 2.500-Rp 3.000. Yang paling mahal cetakan untuk delapan posisi numerik ongkosnya Rp 5.000.

[bersambung]

.

.

Printer dengan Unsur Jagung



Printer DocuPrint C2255 (fxp)

Kampanye Green techology tak lagi hanya bergaung tanpa makna, dan industri grafika digital khususnya percetakan merasakan langsung.

Adalah Fujixerox, dengan dalih tidak mau ketinggalan dalam kampanye penghijauan, merilis printer DocuPrint C2255 seharga US $ 3110, yang disebut sebagai printer yang ramah lingkungan, yakni dengan memasukkan unsur jagung didalamnya.

"Tak hanya DocuPrint C2255 saja yang nantinya akan diproduksi sebagai produk industri digital ramah lingkungan, kedepan, semua produk Fuji Xerox akan ramah lingkungan". Teddy Susanto, Sales Manager Fuji Xerox menjelaskan kepada wartawan di sela-sela peluncuran produk ini di Senayan City, Jumat [12/12/08] lalu.

Selain printer warna DocuPrint C2255, Fujixerox juga merilis dua produk lainnya yang ditujukan bagi kalangan UKM dan rumahan, yakni printer A4 hitam putih terbaru Phanser 3124 dengan harga US $ 119 dan 3125N dengan harga US $ 219.


Bagaimana jagung bisa jadi bahan pembuatan printer?

Melalui sebuah proses kimia, jagung yang telah dilebur bersama materi lainnya dan menghasilkan plastic biomass, dipakai untuk membuat penutup drum di dalam printer DocuPrint C2255.

Didalam material plastic biomass, sangat minim dalam menggunakan jagung sebagai bahan atau material organik, sehingga dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 16% selama produksi.

Dibandingkan dengan produk printer laser lainnya, DocuPrint C2255 diklaim oleh Fujixerox lebih ekonomis dan memberi hasil cetak berkualitas tinggi.

Entah karena memakai plastic biomass atau karena printer warna A3 ini berbasis teknologi LED. [mp]

Colour Printer dan Bisnis Cetak Upal


Salah satu kasus kriminal terheboh tahun lalu, adalah penyalahgunaan peralatan colour printer yang juga melanggar pasal 244 KUHP. Yaitu dengan ditangkapnya tiga pelaku pencetak uang dollar palsu oleh Polda Banten dengan barang bukti sejumlah US$ 1 Trilliun di kawasan Cimanuk,Pandeglang, Banten, pada selasa (29/4).

Dalam hal regulasi, khususnya dibidang colour printer, telah dirilis sebuah peraturan resmi per April tahun 2007. Peraturannya sendiri berlaku resmi dan bisa diikuti dengan juklak dan sebagainya pada Agustus 2007, dimana semua peralatan colour yang dipasarkan oleh distributor resmi, harus dilengkapi dengan sticker segel yang menyatakan bahwa peralatan itu resmi dan sudah dinyatakan boleh beredar di Indonesia. Diharapkan, tidak ada penyalahgunaan peralatan atau mesin-mesin tersebut.

”Yang saya lihat, itu merupakan tambahan proteksi dari apa yang telah di-provide oleh kemampuan mesin itu sendiri. Nah, dengan adanya stiker tadi, dapat dikatakan bahwa semua printer dan fotokopi berwarna itu telah aman dipasarkan di Indonesia”. Demikian tutur Arifin Partono, Direktur PSBO PT Astragraphia Tbk,.

Meski sudah ada aturan jelas, namun perdagangan peralatan tidak hanya oleh mereka yang tergabung dalam ASKOMINDO. Arifin mengaku tidak banyak mengetahui adanya distribusi atau perdagangan dan distribusi peralatan cetak dan mesin fofokopi warna diluar Askomindo.

”...ada juga peralatan-peralatan yang bukan dipasarkan oleh Astra Graphia, tapi penting diketahui bahwa PT Astra Graphia ditunjuk resmi sebagai distributor atau sole agen daripada Fujixerox. ”

Artinya, masih menurut Arifin, kalau ada peralatan yang tidak keluar dari Astra Graphia, mestinya tidak bisa dijamin keabsahan ataupun safety dari produk tersebut. Sedangkan produk-produk yang keluar dari Astragraphia, ia bisa jamin mulai dari legalitas, waranty sampai ke safety, lalu beberapa hal pendukung lainnya termasuk dimana produk harus memiliki klasifikasi green, aman untuk lingkungan, dan sebagainya.

Akan halnya dengan penyalahgunaan mesin printer atau fotokopi berwarna dalam produksi uang palsu, tentu saja hal ini kembali pada tanggung jawab moral pemakai, bukan lagi tanggung jawab agen atau distributor.


Ilegal Printing

Dilematis kalau kemudian illegal printing lalu dikaitkan dengan aktifitas kriminal turunan lain seperti pencetakan cover cd bajakan misalnya. “Kalau urusan illegal printing, saya lebih cenderung menyalahkan law enforcement yg me-'legal'-kan business turunannya.” Jelas Guntur Santoso, Dewan Pengarah FGDforum.

Guntur benar, sebab kalau demand dihentikan, aktifitas percetakan itu akan berhenti, jadi keberadaan suatu ecology seperti kalibaru, benhil, pettarani, bukan merupakan sumber masalah. [mp]

PLASTIK: SOLUSI BERBAGAI SUMBER MASALAH

Sebagian orang beranggapan, jika pelaku industri mengambil bioplastik sebagai solusi atas fluktuasi harga minyak dunia tahun lalu, maka krisis pangan dunia akan semakin dekat. Dengan bahan pangan seperti kedelai, jagung dan ketela sebagai alternatif bahan baku minyak [biofuel], disadari telah menjadi penyumbang utama krisis pangan dunia. Bayangkan, jika setiap satu liter biofuel dihasilkan dari bahan pangan yang seharusnya bisa dimakan satu orang selama setahun!

Hengky Wibawa memberikan pandangan, bahwa plastik bukan lagi sumber masalah, justru seharusnya, problem plastik bisa dibalik menjadi profit.

Sebagai model kemasan paling diminati di seluruh dunia karena sifatnya yang lentur, plastik juga dinilai sarat masalah, utamanya ketika ia bersentuhan dengan lingkungan alam, akan membutuhkan waktu sangat lama untuk hancur sehingga bisa mengurangi kesuburan tanah.

Dengan menipisnya persediaan dunia akan bahan bakar minyak fosil, ditambah dengan ulah spekulan di bursa minyak dunia tahun lalu, otomatis berdampak pada industri packaging. Sebagaimana diketahui, bahan baku plastik sebagai flexible packaging berasal dari minyak fosil.

Saat industri secara umum menjerit akibat gejolak harga minyak, ternyata angka ekspor industri kemasan mengalami kenaikan signifikan? Di negara lain penghasil minyak, saat harga minyak dunia naik tentunya mengalami kenaikan profit. Di Indonesia, yang merasakan sebagai hal positif mungkin hanya industri packaging, ini karena naiknya permintaan eksport industri kemasan, dan dihargai dengan harga pasar dunia.

Adakah alternatif lain mengatasi mahalnya bahan baku plastik? Apakah lantas harus beralih ke kemasan lain misalnya kertas? Apakah industri kemasan plastik harus gulung tikar? Berbagai pertanyaan seperti diatas, kerap muncul di kalangan masyarakat. Namun berbagai jawaban ternyata juga belum dapat dijadikan sebagai solusi jangka panjang. Padahal ini sangat penting, dimana selain tren kemasan plastik [flexible packaging] meningkat diberbagai sektor, dan volume kebutuhan akan plastik di masyarakat juga mengalami peningkatan.

Jika bicara alternatif lain sebagai pengganti plastik, tentu dengan berbagai masalah juga. Misalnya kertas, sejak akhir 2007, persediaan bubur kertas [pulp] nasional telah habis akibat berhentinya praktek ilegal logging dan semakin ketatnya pengawasan pemanfaatan hutan tanaman industri. Selain memacu tingginya harga kertas nasional, nyaris tak ada bahan lain yang lebih murah.

Karenanya, meski dikenal sebagai sumber masalah lingkungan, dengan tidak menggunakan alternatif bahan makanan sebagai bahan baku, dunia plastik masih tetap peduli pada krisis pangan, menjadi kemasan paling murah, dan mudah digunakan.


Penyusutan Ukuran: Solusi Disaat Krisis

Kalangan industri pada umumnya yang membutuhkan kemasan plastik, beralih tren dan mulai mengatur langkah strategis agar tidak terjadi high cost dari kemasan. Misalnya makanan, minuman dan bumbu-bumbuan, lazimnya beban biaya packaging hanya 10% dari total biaya produksi. Kini beban angka sepuluh persen itu harus tetap dan tak boleh bergeser naik, karena akan menambah biaya produksi dan mau tak mau harus menaikkan harga barang yang akan berakibat penurunan loyalitas konsumen.

Tren bergeser kearah penyusutan ukuran kemasan. Bagi kalangan industri, ini adalah pilihan kalau ingin konsumennya tetap loyal. Dan konsumen juga tidak merasa dibebani kenaikan harga, meski kemasan dan volume menyusut. Akan halnya bagi designer, juga menjadi lebih mudah dan ringkas dalam bekerja karena ukuran bidang kreatifnya menjadi lebih kecil.

Beruntung, bahwa pelaku industri tidak mengambil bioplastik sebagai solusi. Jika ya, maka krisis pangan dunia akan semakin dekat. Apalagi kalau beton pondasi bangunan anti gempa dan korosi, juga menggunakan blocking plastik yang bahan bakunya adalah bahan pangan.

Putria Fatmasari : Menjual Kue Andalkan Kemasan


Putri panggilan akrabnya. Pemilik Shania Online Cake Shop ini tak kehabisan akal. Ditengah persaingan keras bisnis penjualan aneka kue, ia mencoba melakukan berbagai kreasi. Namun dalam kreasi kue, siapapun rasanya dapat melakukan sesuai selera sendiri maupun selera pasar.

Berbagai kreasi membuat kue selalu ia lakukan, baik melalui percobaan untuk kebutuhan sendiri dan orang-orang terdekat seperti hadiah ulang tahun, dan sebagainya. Toh, ia tak merasakan kenaikan pemesan cukup berarti.

Dari iseng-iseng mengutak-atik blog, ia coba memasang beberapa foto kue buatannya. Banyak yang melihat, banyak pula masukan ia dapat. Ya, di dalam foto, semua kue tak akan menampakkan keistimewaan berarti. Untuk itu ia mencoba membuat kemasan yang selain agar kuenya awet, tentu juga aman dari polutan dan indah dipandang mata.

Hasilnya, sejak blognya menampilkan foto-foto kue dengan aneka kemasan indah, banyak pemesan tak hanya datang dari Yogyakarta. Mempraktekkan Online Business Marketing, ia melayani pembeli dari manapun. Biasanya, pemesan tidak selalu untuk dikirim ke alamatnya. Seringkali pemesan dari luar kota misalnya Jakarta, Surabaya dan kota lainnya, memesankan kue sebagai hadiah ulangtahun atau pernikahan untuk rekan dan saudaranya yang tinggal di Yogyakarta.

Inovasi Putri pada kemasan kuenya, memberinya berkah. Shania Online Cake Shop bahkan kini juga mulai membuka cabang. Soal rasa dan resep membuat kue sudah rahasia umum, karena itu, andalannya, tetap pada kemasan selain juga kemitraan yang baik dengan perusahaan delivery service agar pembeli mendapat pelayanan tepat waktu.

Shania Online Cake Shop
Jl.Kaliurang Km.10 Depan Pasar Gentan, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, Indonesia
Telp: 0274-6565691/
HP: 081802709313
e-mail: putria2006@gmail.com
YM: putria2006@yahoo.com

Resensi Buku STIKER KOTA






Judul Buku: STIKER KOTA
Penulis : BAMBANG SUGIHARTO & ARDI YUNANTO
Penerbit: Divisi Penelitian & Pengembangan ruangrupa
Harga buku : Rp. 55.000,-
Dua bahasa: Indonesia dan Inggris
Ukuran : 15 x 21,
Vol. : 300 halaman isi (200 warna, 100 hitam-putih)

STIKER KOTA

Stiker kota marak sejak 1970-an di berbagai kota besar di Indonesia. Ia ada di mana-mana: tertempel di angkutan umum, mobil, motor, pintu rumah, dan bahkan selalu hidup dalam kenangan masa kecil kita.

Bagaimana fenomena ini berkembang dan apa yang kemudian terlihat dari perubahan stiker ini seiring pertumbuhan kota besar dan perubahan masyarakat kota?

Ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, buku ini diterbitkan oleh Divisi Penelitian & Pengembangan dari ruangrupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta. Selain membahas fenomena stiker kota, buku ini juga memuat ribuan stiker dari berbagai era dalam halaman warna, serta sejumlah foto yang menunjukkan betapa stiker sangat lekat dalam kehidupan masyarakat di kota-kota besar.


Testimoni:

“Sebuah kajian menarik, yang selama ini dilupakan karena dianggap remeh-temeh dan tidak penting, yang memaksa kita untuk memikirkan kembali apa makna budaya rakyat.”— Antariksa, peneliti pada KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta


“Ide yang menarik dan kuat. Sebuah usaha mengabadikan ingatan di zaman yang serba singkat dan padat. Saya terbayang usaha keras mengumpulkannya...” — Herry Nurdi, pemimpin redaksi majalah Sabili


“Stiker di ruang publik barangkali adalah ungkapan paling polos tentang nafsu-nafsu manusia, dari nafsu beragama hingga nafsu bersenggama. Buku ini wajib bagi yang ingin tahu dorongan dasar penghuni kota.”— Ayu Utami, novelis


“Kerja mengumpulkan stiker kota ini seperti memulung yang terbuang dan tak dipedulikan, tapi sesungguhnya menjadi penanda ingatan bersama tentang kota. Sebuah sumbangan besar, bukan hanya pada khazanah seni grafis, tapi juga sejarah sosial Jakarta.” — Hilmar Farid, pengajar Cultural Studies di Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia


Dicetak oleh percetakan Gajah Hidup.
Disalurkan oleh penyalur buku Nalar.
Kontak: Ardi Yunanto (081510125642)

ruangrupa
Jl. Tebet Timur Dalam Raya No. 6, Jakarta 12820. Indonesia.
T/F: +62 21 8304220 e-mail: info@ruangrupa.org www.ruangrupa.org
www.karbonjournal.org

Geografis Indonesia: Problem Menjadi Profit


Dalam distribusi barang cetakan sebagai sarana melakukan promosi, ada ongkos yang harus dibayar. Namun jika bisa ditekan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna, kenapa tidak?

Tak hanya jumlah penduduknya yang besar, berada di urutan keempat dunia, namun juga kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan membuat segala sesuatunya harus diperhitungkan. Jarak dan waktu, serta sarana distribusi antar wilayah menjadikan ongkos produksi semakin mahal. Maka tak heran jika untuk satu item barang yang sama, terjadi perbedaan harga disetiap wilayah.

Sejak era digital memasuki ranah industri kreatif grafika, utamanya pada percetakan, semua masalah itu teratasi. Akses atas informasi, dalam waktu bersamaan dapat dilihat bersama dari tempat berbeda. Begitu pula dalam memproduksi barang-barang cetakan, selain dapat bertindak lebih efisien mencetak sesusai kebutuhan, juga dapat dilakukan dengan sistem cetak jarak jauh [SCJJ].

Hal tersebut tentu menguntungkan semua pihak, baik produsen maupun konsumennya, karena dalam waktu bersamaan dapat dinikmati produk yang sama pada daerah bahkan negara berbeda. Jika dahulu, Kompas Jawa Timur bisa dibaca setelah matahari terbit, kini Kompas Jakarta maupun Kompas Jatim terbit bersamaan.

Artinya, dampak positif yang dirasakan adalah bahwa produk yang sama dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat dalam waktu bersamaan meskipun tempatnya berbeda. Jika demikian halnya, maka roda perekonomian bergerak lebih cepat dan terjadi pemerataan. Jika dahulu jarak dan waktu tempuh adalah problem, maka teknologi digital telah mengubahnya menjadi berkah alias profit.

Keuntungan beralih ke digital, juga untuk memermudah untuk mencetak ulang buku-buku yang kelebihan permintaan pasar, atau bahkan buku-buku yang tidak begitu laku sehingga dengan cetak terbatas, tak ada lagi spreading yang hanya akan merepotkan dalam menyediakan gudang penyimpanan.

What is oxo-biodegradable plastic?

Hengky Wibawa, Argha Karya Indonesia

Unlike "normal" plastics, that degrade and disintegrate very slowly, oxo-biodegradable plastics are manufactured to accelerate the destruction of the plastic product, preferably extending the destruction to the extent where the plastic is mineralized into its basic component elements.
There are many different types of oxo-biodegradable plastics being introduced into the Australian market at present, resulting in confusion about their impacts and benefits.
When considering packaging and bags, the most important distinction needs to be made between hydro-biodegradable plastics and oxo-biodegradable plastics.
Oxo-biodegradable plastics (also referred to as oxo-degradable plastics) are normal petrochemical based polymers which have a small amount of prodegradant added during the production of the plastic. The prodegradants act as a catalyst to speed up the degradation process of the plastic and is normally a transition metal. Some of these metals are considered trace elements and are essential for life, such as cobalt which is essential for the formation of vitamin B 12.
These bags retain all of the advantages of normal plastic bags but provide effective solutions to the compost and landfill industries with minimal disruption of consumer behavioural patterns.
The degradation process involves the oxidation of the long chain polymer molecules at random points along the molecule. At each oxidation point, the molecule will break into two shorter molecular lengths, releasing the catalyst to attack another part of the plastic and attaching oxygen molecules at the break.
This process of shortening the polymer molecules commences from the time of production of the plastic and continues throughout the life of the plastic. As the molecular length of the polymer is reduced, so the plastic becomes less flexible and ultimately becomes brittle and easily disintegrates into small fragile pieces.
With continued oxidation and reduction in polymer length the molecular weight of the plastic is reduced to below 40,000, at which point the molecules can be attacked and processed by the enzymic activities of fungi and bacteria. This results in the complete biodegradation of the plastic.
The rate at which this entire process is completed varies with the design of the plastic i.e. which type of polymer is used, the addition rate of the prodegradants and the type of active ingredient in the prodegradants.
A further important variable is that should external energy be applied to the plastic, for example, if plastic is littered and thereby receives direct ultra violet light, the disintegration process is hastened, causing the film to break down within weeks. Thereafter biodegradation occurs.
In an industrial compost environment operating at approximately 60 °C, the generated heat will ensure disintegration will be complete within the normal compost processing time of 12 weeks, followed by biodegradation and bio assimilation when mixed into soil.
In a dry landfill operating at approximately 35 °C to 40 ° C the process will take from a few months for specifically designed day covers, to 18 months to 2 years for shopping bags and waste bags.
Agricultural mulch films are designed to take account of local conditions and to exist for a specified time prior to rapid disintegration followed by biodegradation and bio assimilation in soil.
The rate of the biodegradation stage will depend on the type of environment the disintegrated particles end up in. If placed in soil, the relatively large molecules of polymer are only assimilated by certain microbes. These are the same organisms which assimilate lignin (which is comprised of large naturally occurring polymer molecules). Lignin makes up majority of the humus content of compost, thus the rate of degradation depends on the availability of those microbes and it can take 4 to 5 years for the carbon in the polymer to be completely absorbed back into the environment. Because of this slow absorption rate much of the carbon in the plastic is converted to biomass with only a portion being converted to carbon dioxide.
If disposed of in a landfill, shopping bag type plastic will fragment but will only partially biodegrade, as the microbes which process large molecules cannot exist with the low oxygen levels normally found in landfills. This is advantageous, as the plastic will only make a minimal contribution to greenhouse gasses, especially methane, formed by anaerobic biodegradation, and which will trap 56 times more atmospheric heat than carbon dioxide over a 20 year period.
Landfill day covers are specifically designed to disintegrate quickly and biodegrade during the aerobic stage of landfill operation.
If included with other petrochemical products for recycling, prior to the onset of degradation, oxo-biodegradable plastics will have no effect of the quality of recycled material produced. Should high levels of prodegradant materials be included in a batch, the recycling facility can either dilute the levels with non-degradable material or process it as a degradable recycled material or include additional levels of anti-oxidant which will counter the prodegradants.
Oxo-biodegradable bags can be used for numerous products and applications because they retain all of the properties of existing plastic such as strength, clarity, water resistance and low cost.
Hydro Bio-degradable plastics are those plastics that contain a percentage of both petrochemical derived polymers and bio-polymers (normally starch based when used to produce bags for example Starch-polycaprolactone (PCL) blends produced by Novamont in Italy and branded as Mater-Bi ) These polymers are complex in structure and need to be initially hydrolyzed by water which breaks them into shorter lengths and they are then destroyed by the enzymic action of microbes. Originating from organic materials there are numerous species of microbes which will assimilate these products.
Although starch based bags are ostensibly derived from renewable resources they do require large amounts of fossil fuels to generate the power they consume during plant growth, polymer production and the transport they require. In some cases the amount of fossil fuel used to produce starch polymers exceeds that of petrochemical derived plastics , inclusive of the plastic itself and processing needs (How Green are Green Plastics - Scientific America 2000 - Gerngross and Slater).
Growing the plants required to produce the starch also has environmental impacts such as use of arable land for purposes other than food production, water usage and run off, fertilizer production and usage, transportation pollution and disposal issues associated with the remainder of the plant.
Starch based plastics are designed to degrade very quickly with 80 to 90 percent of their carbon content being converted to carbon dioxide during the normal 12 weeks required for industrial composting. Unfortunately this means that much of that carbon is not recycled back to biomass by the microbes but has to go through the whole process of contributing to greenhouse gases prior to photosynthesis by plants.
This fast mineralization rate also means that the composting facility is not able to benefit from the weight of the plastic it processes.
Starch based plastic is not recommended to be disposed of in landfill site for a number of reasons:
- because they do not have the strength of petrochemical bags, they are thicker and occupy more space in landfill
- in dry landfills they do not degrade very quickly and can remain in the landfill until it turns anaerobic and then degrade into more environmentally harmful methane;
- in landfills consisting of large amounts of non-organic material there may not be the microbial population to biodegrade the plastic;
- there is no recycling of the carbon content of the plastic;
- there is little chance of their contributing to the benefit of possible future mining of landfills for resources.
If starch based polymers are used for energy recovery by combustion they do not generate the levels of energy produced by petrochemical products, one of the reasons being that they absorb moisture very easily and therefore do not generate high heat.
If littered, starch based plastics need both the presence of water and a microbial population in order to disintegrate and reduce the danger they present to wild life. Modifications to the plastic to assist with water resistance during its normal use also mean that they do not disintegrate immediately upon being littered but can last for months in the environment.
These polymers are not normally photodegradable.
Starch based polymers are not able to be recycled as they are not compatible with normal petrochemical based plastics.
If included with waste for recycling they coagulate forming lumps which prevent the entire batch from being used. The use of starch based shopping bags will require considerable public education to ensure they are excluded from bag material collected for recycling.
Starch based plastics are opaque and thus have limited uses aside from shopping bags and waste bags. Even bags destined to be used to transport waste to compost facilities can benefit from being transparent so that staff are able to easily see any contaminants the bag may contain.
Although starch based polymers have been in the market place for almost 2 decades they have not, as yet, been able to capture as much market share, of the packaging film and bag market, as oxo-degradable plastics have done since their launch 4-5 years ago.
This is possibly due to the high cost of starch based raw materials ( 3.75 times as expensive) as well as the limited usefulness of the plastic produced, which has poor clarity, gloss and surface finish as well as poor water resistance and requires increased thickness of plastic (nearly twice) when attempting to achieve similar mechanical properties to normal plastic bags.

10 Tahun Kiprah FGDforum



Kerjasama FGDforum-Politeknik Negeri Jakarta

Peringatan 10 tahun kiprah FGDforum pada 21 Oktober 2008, adalah sebuah apresiasi kepedulian FGDforum terhadap pendidikan kegrafikaan tanah air sesuai dengan visi misi edukasi organisasi ini. Hal ini juga menjawab berbagai pertanyaan misalnya tentang sepinya suara FGDforum sejak pelaksanaan FGDexpo2007.

“FGDforum tetap dengan kegiatan rutinnya, seperti forum diskusi tiap hari rabu bersama Dyandra. Kami juga tetap concern dengan visi dan misi organisasi dalam memperluas industri grafika, serta ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam perkembangan digital.” Jelas Herman Pratomo, Sekjen FGDforum yang juga Direktur Marketing FGDexpo2009.

Sebagai jembatan antara lembaga pendidikan dengan kalangan industri, FGDforum telah menandatangani kerjasama dengan Politeknik Negeri Jakata [PNJ] pada tanggal 21 Oktober 2008. Penandatanganan nota kerjasama yang dilakukan oleh Ketua FGDforu dan Direktur PNJ.

Diantara kerjasama yang disepakati untuk jangka 5 tahun kedepan ini, antara lain FGDforum agar dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung kemitraan Kampus dengan Industri, memberikan solusi atas kesulitan mendapatkan SDM Pengajar, pemberian Beasiswa. Penandatanganan kerjasama tersebut, disaksikan ratusan undangan dari kalangan akademisi dan industri grafika disela-sela rangkaian kegiatan kuliah umum kegrafikaan.

Secara terperinci, dalam nota kerjasama dengan jangka waktu 5 tahun tersebut terdapat poin-poin penting antara lain Ruang lingkup kesepakatan [MoU]: Menyiapkan pelaksanaan program lanjutan dibidang kegrafikaan, Bantuan penyusunan kurikulum dan bahan ajar untuk program lanjutan, Penyusunan standard kompetensi bidang kegrafikaan, Job Training bagi mahasiswa dan dosen, Training of Trainer [TOT] bagi dosen Politeknik Negeri Jakarta dan Menyiapkan Dosen praktisi sebagai Dosen tamu di Politeknik Negeri Jakarta.

Adapun mengenai Pelaksanaan Kerja Sama [MoA] Pengembangan Pendidikan Di Bidang Kegrafikaan , Ruang lingkup kerja samanya meliputi : Menyiapkan Sumber Daya Manusia yang kompeten di bidang kegrafikaan dalam bentuk penyelenggaraan program lanjutan, Menyelenggarakan pendidikan singkat dalam rangka uji kompetensi bagi SDM dibidang kegrafikaan yang ingin memperoleh sertifikasi profesi dan masyarakat umum, serta menyelenggrakan kegiatan lain yang terkait dan belum tercakup dalam nota kerjasama dimana akan dituangkan dalam surat perjanjian tersendiri.

Sedangkan dalam Pasal 3 MoA mengenai Tugas dan tanggung jawab juga dijelaskan antara lain, Politeknik Negeri Jakarta; menyiapkan Dosen, ruang belajar, fasilitas pendidikan lainnya yang terkait, bersama dengan FGDforum mnyiapkan kurikulum serta pengembangannya, menyelenggarakan pendidikan lanjutan dan menerbitkan ijasah untuk program tersebut, memberikan sertifikat tanda keikutsertaan dalam program-program pendidikan singkat, serta menyelenggarakan pendidikan singkat bagi sumber daya manusia dibidang kegrafikaan dan masyarakat umum.

Begitu juga dengan FGDforum, dalam hal ini memiliki tugas dan tanggung jawab menyiapkan Dosen praktisi, bersama denga PNJ menyiapkan kurikulum serta pengembangannya, menyelenggarakan kegiatan pelatihan dan memberikan sertifikasi asosiasi bagi mahasiswa PNJ berdasarkan uji kompetensi, menyiapkan prasarana dan ikut menyediakan informasi calon peserta untuk pendidikan singkat bagi sumber daya manusia dibidang kegrafikaan dan masyarakat umum, dan membantu dalam kegiatan penempatan praktek kerja bagi mahasiswa.



FGDforum Menjawab

Mungkin beberapa kalangan bertanya setelah FGDexpo2007 FGDforum kemana saja?
Hal itu wajar saja karena memang nampaknya kegiatan paling menonjol dan diikuti oleh masyarakat grafika hanya aktifitas milis yang terus berlangsung seiap hari. Mulai dari diskusi serius sampai yang santai-santai alias sersan dalam istilah ketua FGDforum 2008-2012, Irvan A. Noe’man.

Sebagaimana terekam dalam agenda kegiatan sekretariat, organisasi yang lahir pasca krisis ’98 ini padat dengan kegiatan misalnya menyusun berbagai program untuk persiapan FGDexpo2009 yang akan melibatkan berbagai pihak. Seperti diketahui pada penyelenggaraan expo sebelumnya, supporting event dan kegiatan activation dalam pameran menjadikan pameran ini lain dari yang lain, sehingga perlu persiapan matang jauh-jauh hari sebelumnya.

Maka tak heran kalau jarang atau belum terlihat diluar karena FGDforum sedang sibuk berbenah didalam dan mempersiapkan “pertempuran” di ajang FGDexpo2009. Meskipun sebenarnya kegiatan keluar tetap dilakukan, hanya saja intensitasnya akan meningkat jelang expo dimulai dari roadshow to campus dan forum B to B.

Reboan adalah salah satu rutinitas FGDforum-Dyandra, selain jadi ajang diskusi perkembangan grafika terkini, juga merupakan forum laporan aneka kegiatan masing-masing personal dan divisi dalam kepengurusannya di FGDexpo.

Kegiatan lain tak kalah menarik dari organisasi ini adalah mapping industri kreatif yang terus diaupdate sehingga punya kontribusi nyata dalam perannya membantu pemerintah dalam akurasi data dan pemetaan industri. Hasilnya? Kini kreatif dengan 14 sub-sektor diakui dan menjadi industri yang diandalkan.

Magno, brand radio buatan Singgih yang dibuat menggunakan material kayu dan didesain sedemikian rupa, adalah salah satu hasil aktifitas “provokasi” FGDforum. Guntur Santoso, sebagai pembeli pertama Magno bersama Irvan Noe’man membawa hasil kreatifitas local genius asal Temanggung ini pada dua peristiwa penting. Pertama di hadapan Menteri Perdagangan Marie Pangestu yang kemudian menjadi lebih tersadar akan pentingnya perhatian pemerintah terhadap industri kreatif. Kedua adalah membawa Magno memenangi sebuah kompetisi di Hongkong mengalahkan i-phone.

Momen 10 tahun kiprah FGDforum, memang tak semeriah layaknya sebuah selebrasi. Namun peran semakin mendalam pada pengembangan pendidikan kegrafikaan lebih kaya makna.

Dua bulan pasca peringatan 10 tahun kiprah FGDforum dikancah industri grafika, ditandai pula dengan peristiwa penting. Yakni pada meeting tahunan yang digelar dikawasan Sentul City. Dalam meeting tahunan ini, dibagi dalam 2 sesi yakni untuk evaluasi dan perencanaan strategis FGDexpo, serta sesi evaluasi dan perencanaan strategis FGDforum.



Ajakan Cinta Rupiah dan Regenerasi

Meeting tahunan FGDforum dan FGDexpo meninggalkan catatan menarik antara lain ajakan FGDforum untuk menjadikan rupiah tuan rumah di negeri sendiri. Dan ini menjadi komitmen panitia FGDexpo2009, misalnya dengan menerapkan transaksi pada sewa booth stand hanya dengan rupiah, dan anjuran pada exhibitor untuk menyelenggarakan transaksi dengan rupiah.

Dalam rangkaian pameran, seminar dan conference yang melibatkan peserta dalam dan luar negeri ini, kampanye kembali ke rupiah sebagai alat bayar akan sangat efektif mengingat ini adalah pameran grafika asia tenggara tersebar yang sering dijuluki sebagai Drupa-nya Asia Tenggara.

Dalam 10 tahun ini misalnya, bahan baku bijih plastik yang diproduksi oleh BUMN Pertamina dijual dengan kurs dolar. Namun Felix Hamijaya, Ketua Umum Asosiasi Industri Kemas Fleksibel Indonesia (Rotokemas) yang juga Dewan Pengarah FGDforum menyatakan pihaknya sengaja tidak ikut menjual dalam bentuk dolar, karena perilaku tersebut akan berimbas pada kurs rupiah akan semakin terpuruk. Nasionalisme yang patut diacungi jempol, namun tak pantas jika dibiarkan menjadi martir mengingat lebih dari 600.000 karyawan menggantungkan hidup disana.

Felix, berbicara di froum meeting tahunan FGDforum juga mendesak pemerintah agar memperjelas semua peraturan dalam implementasi transaksi dalam bentuk rupiah didalam negeri.

Catatan lain tak kalah penting adalah tentang regenerasi ditubuh organisasi FGDforum. Diusianya yang telah 10 tahun, butuh generasi dengan usia muda dan ide-ide segar untuk membawa organisasi ini agar dapat terus eksis dan berkembang. Sambil menunggu generasi muda tertantang masuk organisasi ini, beberapa kandidat juga akan “dilamar” untuk segera bergabung dan komitmen terhadap visi misi FGDforum.

“Padahal masuk FGDforum itu kan mudah, syaratnya masuk tidak bayar, kerja juga tidak ada yang bayar.” Seloroh Andi S. Boediman, CEO FGDexpo2009. [mahar]

Arsip Blog

Pengikut